Lokakarya Sistem Jaminan Sosial Nasional (Bagian 2-Selesai)

Hampir Separuh Warga Sulteng Belum Dijamin BPJS Kesehatan

SETIAP orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Begitulah landasan filosofi hadirnya sistem jaminan sosial nasional dalam wujud BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Namun, dalam praktiknya jaminan pelayanan kesehatan sebagai kebutuhan dasar hidup itu belum dinikmati oleh seluruh masyarakat. Bahkan, di Sulawesi Tengah sampai Agustus 2015, separuh dari jumlah penduduknya belum masuk dalam program jaminan kesehatan nasional (JKN).

Hal itu mengemuka dalam Lokakarya Diseminasi/ Komunikasi Publik Sistem Jaminan Sosial Nasional di salah satu hotel di Kota Palu, Jumat (11/9/2015). Lokakarya yang dilaksanakan oleh DJSN ini melibatkan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan dengan peserta belasan jurnalis cetak dan elektronik di Palu.

Ada pula pembicara dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah yakni Kepala Dinas Kesehatan Anshayari Arsyad, dan perwakilan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Dari BPJS Kesehatan diwakili Kepala Unit Manajemen Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Palu, Inrie Lombok.

Kepala Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah Anshayari Arsyad mengakui, sampai Agustus 2015 total peserta JKN di 13 kabupaten kota sebanyak 1.579.438 jiwa dari total jumlah penduduk di Sulawesi Tengah 2.876.827 jiwa. Artinya baru 54,90 persen warga Sulawesi Tengah yang menjadi peserta JKN.

“Yang belum memiliki jaminan 901.416 jiwa,” ungkap Anshayari Arsyad.

Parahnya, anggota DPRD turut berkontribusi terhadap angka tersebut karena banyak di antara wakil rakyat yang belum terdaftar di BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan Palu mencatat, secara institusi, DPRD Palu, Parigi Moutong, Poso, Banggai Laut, Morowali Utara, Tolitoli, Buol, DPRD Sulteng belum terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.

Adapun DPRD yang telah bergabung BPJS Kesehatan adalah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, Kabupaten Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan, Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Tojo Unauna.

Selain DPRD, absennya badan usaha dalam BPJS Kesehatan yang berkontribusi besar. Khusus di kota Palu, menurut BPJS Kesehatan sampai dengan Agustus mencapai 1.229 dengan jumlah pekerja 12.558 orang.

Namun yang terdaftar di BPJS Kesehatan baru 522 badan usaha dengan jumlah pekerja 10.282 atau 12.472 jumlah keluarga. Artinya, masih ada 707 badan usaha di Palu yang belum mendaftarkan pekerjanya di BPJS Kesehatan dengan jumlah pekerja 2.276.

Anshayari Arsyad juga mengungkapkan bahwa ada 359.973 jiwa peserta Jamkesda di daerah ini belum terintegrasi ke dalam JKN.

Persoalan yang perlu perhatian serius adalah bahwa seluruh puskesmas telah melayani pasien JKN, namun dari aspek sumber daya manusia serta ketersediaan alat dan sarana prasarana kesehatan belum lengkap.

Sementara itu, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional Taufik Hidayat dalam pemaparannya mengungkapkan, ada beberapa catatan dan temuan DJSN tentang pelaksanaan JKN.

Pertama, Puskesmas belum sepenuhnya mampu menegakkan 155 diagnosa karena adanya keterbatasan sarana dan prasarana. Kedua masih terdapat puskesmas belum menggunakan aplikasi P-Care untuk program JKN (verifikasi kepesertaan dan kendali mutu pelayanan kesehatan). Ketiga ketersediaan obat terbatas dikarenakan hambatan dalam distribusi dan proses pengadaan.

Selanjutnya, belum optimalnya mekanisme program rujuk balik, sehingga pasien menumpuk di RS. Dana Kapitasi belum dapat digunakan dengan optimal untuk pengadaan obat. Pembagian jasa medis tenaga kesehatan di Puskesmas dan rumah sakit belum terlaksana karena masih menunggu regulasi daerah.

Selain itu, perlunya meningkatkan kerjasama dengan fasilitas kesehatan swasta. Jamkesda perlu segera didorong untuk berintegrasi dengan BPJS Kesehatan. Selain itu, adanya diskriminasi kepesertaan bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU); penerapan sanksi bagi PBPU dan Badan Usaha (BU); indikasi Fraud dalam pelayanan kesehatan dan masih banyak peserta yang belum memahami prosedur pelayanan JKN.

Sementara, monitoring dan evalusi semester I- 2015 DJSN, jaminan sosial belum dikenal oleh masyarakat luas. Oleh karena itu diperlukan strategi dan upaya yang lebih keras dari BPJS Ketenagakerjaan dan dukungan dari pemerintah daerah untuk perluasan kepesertaan.

“Hasil sementara survei yang dilakukan DJSN pada semester I tahun 2015 terhadap 1000 responden di 4 lokasi, sebanyak 56,81% responden mengetahui transformasi PT Jamsostek ke BPJS Ketenagakerjaan. Sementara itu hanya 28,56% responden mengetahui bahwa 1 Juli 2015 BPJS Ketenagakerjaan beroperasi penuh,” katanya.

Dia juga mengingatkan perlunya prinsip kehati-hatian dalam penyelenggaraan Jaminan Sosial. Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengindikasikan beberapa titik potensi terjadinya korupsi, diantaranya adalah fraud pada pembayaran klaim BPJS ke fasilitas kesehatan dan fraud dalam kepesertaan. Untuk itu BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan harus memperhatikan prinsip kehati-hatian ini.

DJSN juga merekomendasikan, penguatan fasilitas kesehatan; perlunya penguatan fasilitas kesehatan tingkat pertama (Puskesmas, klinik, dokter perorangan) dari Pemerintah Daerah, pihak FKTP, BPJS Kesehatan, dan pemangku kepentingan terkait untuk mengoptimalkan peran sebagai gate keeper.

Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) lainnya Ahmad Anshori meminta jajaran BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan di daerah ini agar meningkatkan interaksi yang positif dengan jurnalis serta meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat agar pemahaman masyarakat mengenai progam ini semakin baik.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

%d bloggers like this: