Pilkada dan Terkurasnya Negara

Pilkada dan Terkurasnya Negara
Oleh: Mustajab Al-Musthafa, AnalisPolitik LP3S

JIKA menilik perundang-undangan, sebenarnya partai politik sudah banyak dibantu oleh negara. Salah satunya dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dalam undang-undang ini, kegiatan kampanye sekitar 75 % dibiayai negara (APBN). Seperti dalam Pasal 65 Ayat 1 huruf (c,d,e,f), masing-masing debat publik, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga, iklan media massa baik cetak maupun elektronik, dilakukan oleh KPU yang sumber pembiayaannya APBN. Sehingga aneh jika masih merebak isu ‘mahar’ politik di Pilkada.

Sekalipun undang-undang itu menyangkut pilkada, akan tetapi terkait dengan pasal tersebut di atas bersentuhan langsung dengan kepentingan partai politik. Peserta pilkada yang masih didominasi calon parpol—yakni kader atau calon kepala daerah yang mendaftar melalui/atas rekomendasi parpol—secara otomatis menikmati kampanye tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk subsidi tidak langsung. Apalagi keberadaan parpol hingga saat ini bisa dikatakan masih terfokus sebagai lembaga rekruitmen politik, yakni pejabat publik saja. fungsi lainnya—seperti fungsi edukasi, komunikasi, pengatur konflik, saluran aspirasi—hampir tidak jalan.

Olehnya itu, pembiayaan kampanye pilkada yang sebagian besarnya—kecuali pertemuan terbatas dan tatap muka dan dialog—dibiayai oleh negara (APBN) melalui KPU dapat dikatakan sebagai pembiayaan ke parpol juga. Belum lagi jika menilik berbagai fasilitas yang dinikmati pejabat publik (eksekutif dan legislatif)—yang sebagian besarnya juga berasal dari parpol—yang sumber dananya adalah APBN/APBD. Bahkan fasilitas-fasilitas itu lebih dari cukup bahkan ‘lux’ alias mewah. Sebut saja, tunjangan-tunjangan, mobil dinas, rumah dinas plus berbagai fasilitasnya, biaya ‘plesiran’ yang berbalut kunjungan kerja dan perjalan dinas, dan banyak lagi jenis lainnya telah cukup menguras anggaran negara baik di APBN maupun APBD.

Biaya Politik
AKTIFITAS politik memang membutuhkan biaya, tapi tentu tak semua harus dan mampu dibiayai oleh negara. Proses rekruitmen politik misalnya, memang bisa dan bahkan ada hal yang harus dibiayai negara—dan selama ini memang telah dibiayai negara—seperti pemilihan dan pengangkatan pejabat publik. Tapi ada hal yang bisa dan bahkan harus dibiayai rakyat secara mandiri, seperti halnya dalam pembiayaan parpol.
Namun sebenarnya ada banyak hal yang bisa ditempuh agar kos politik itu bisa diminimalisir, khususnya dari sisi pembiayaan negara. Diantara cara yang bisa ditempuh adalah merombak model rekrutimen politik untuk jabatan publik, baik di legislatif maupun eksekutif. Upaya penyelenggaraan pilkada serentak misalnya, adalah hal yang dapat mengurangi kos politik, selain dengan mengubah sistem pilkada langsung ke pilkada melalui DPRD, sebagaimana dalam UU Pilkada yang dibatalkan dan diganti dengan Perpu itu.

Ada cara lain lagi yang lebih efisien dan efektif menghemat anggaran negara dengan hasil yang bisa optimal pula. Hal itu adalah penunjukan langsung kepala daerah oleh kepala negara. Walaupun cara ini—untuk saat ini—banyak yang menentangnya atau tidak setuju, tapi sebenarnya cara ini tidak bertentangan bahkan yang sesuai dengan filsafat pemerintahan.

Jika dalam sistem pemerintahan posisi kepala daerah disebutkan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, maka pemberian hak dan kewenangan pemilihan dan pengangkatannya kepada pemerintah pusat adalah sah. Karena ia adalah wakil sehingga tentu yang paling layak mengangkatnya adalah yang diwakili, itulah pemerintah pusat.

Jika menggunakan pendekatan manajemen, maka pemilihan dan pengangkatan kepala daerah oleh pemerintah pusat akan memudahkan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah. Karena tentu pemerintah pusat akan memilih orang yang ia kenal dan pahami bisa bekerjasama serta mengerti dengan alur komunikasinya. Satu hal yang sangat penting untuk menjalankan fungsi-fungsi manajemen secara efektif, termasuk manajemen pemerintahan. Bukankah akhir-akhir ini media menyorot perilaku kepala daerah di Papua yang tidak ada di daerah ketika kepala negara datang?

Terlepas suka atau tidak suka dengan model kepemimpinan dan manajemen pemerintahan masa orde baru—dimana pola dan sistem rekruitmen politik, utamanya pemilihan/pengangkatan kepala daerah dilakukan oleh pemerintah pusat—manajemen organisasi pemerintahan berjalan efektif. Sistem koordinasi pemerintah dari pusat hingga daerah berjalan lancer dan efektif. Konflik antar lembaga pun bisa diminimalisir. Ini bisa dipahami melalui penempatan dan pemilihan/pengangkatan pejabat publik di daerah yang dilakukan pemerintah pusat. Dengan realitas pejabat seperti itu, maka komunikasi politik antar pemerintah dari level pusat hingga daerah tingkat dua bisa berjalan efektif.

Sekalipun kondisi ini melahirkan kekuasaan yang dipersepsikan banyak pihak sebagai otoriter. Dan untuk mencegahnya ke arah itu, maka mekanisme kontrol harus diperkuat.
Sementara itu, jika kita menilik sistem dan manajemen pemerintahan pasca reformasi, yang menempatkan kepala daerah dipilih oleh DPRD dan dipilih langsung, maka selain kos politik begitu tinggi, sistem koordinasi antar lembaga negara, termasuk antara pemerintah pusat dan daerah sering tidak sinkron bahkan terjadi masalah. Kita bisa membayangkan, betapa rumitnya komunikasi politik jika kepentingan politik para pejabat publik berbeda-beda. Seperti berbedanya latar belakang partai politik kepala pemerintahan dengan kepala daerah.

Kekacauan komunikasi itu bisa terjadi seperti dalam kebijakan kenaikan Harga BBM. Sebagai contoh, ketika presiden memanggil kepala daerah dan memberikan instruksi kepada mereka terkait dengan kebijakan kenaikan harga BBM, tak berselang lama kepala daerah tersebut—dalam kapasitasnya sebagai kader partai—juga mendapatkan instruksi dari pimpinan partainya, yang mana partainya merupakan oposisi pemerintah di parlemen. Maka selanjutnya kita melihat lakon kepala daerah yang ‘bermuka dua’ dihadapan rakyat.

Bisa saja hal itu tidak terjadi, walaupun antara kepala pemerintahan di pusat dan yang di daerah berbeda latar belakang partai politik. Tapi tentu harus ada kebijakan politik yang lainnya ditempuh. Yakni, melepaskan status keanggotaan partai politik bagi siapapun yang menduduki jabatan publik, yakni kepala negara, menteri, dan kepala daerah. Hal ini untuk menghindari dualisme kepemimpinan di daerah, dualisme perintah/instruksi dan kepentingan, juga menghindarkan partai politik menggunakan kadernya yang duduk di kursi kekuasaan untuk ‘menguras’ negara dengan berbagai modus, seperti selama ini sering terjadi dalam kasus-kasus korupsi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

%d bloggers like this: